Kejadian nyata tersebut terjadi pada abad ke 16 dimana seorang pria bernama Petrus Gonsalvus yang mengidap suatu kelainan langka yang bernama hipertrikosis atau disebut juga sebagai sindrom Ambras, dimana seluruh tubuh pengidapnya ditumbuhi rambut. Karena pada zaman tersebut teknologi atau ilmu kedokteran belum berkembang seperti sekarang, maka kelainan yang dialami Petrus dianggap sebagai kutukan.
Pria kelahiran tahun 1537 di Tenerife ini menjadi orang pertama yang mengalami sindrom Ambras. Karena keadaanya tersebut ia dikucilkan dari pergaulan. Banyak orang takut akan rupanya yang menyeramkan. Bahkan ia digosipkan menjadi makhluk yang kejam dan makan bayi hidup-hidup. Tapi di balik tampangnya yang menyeramkan, saat itu ia dijadikan sebagai lambang status bangsawan karena saat masih kecil ia pernah ditangkap dan dijadikan sebagai hadiah untuk penobatan Raja Henry II dan Ratu Catherine de Medici.
Saat itu ia diperlakukan seperti binatang langka dan para sarjana serta profesor mengganggapnya seperti jelmaan manusia serigala dan dapat mengaum. Namun saat Petrus berbicara, mereka terkejut dan menyelidikinya lebih lanjut. Akhirnya para ahli agama dan paranormal juga meyakinkan bahwa Petrus tidak memiliki kekuatan magis dan menjulukinya sebagai Wildman.
Sejak saat itu ia mulai diperlakukan selayaknya manusia seperti diberikan pakaian dan pendidikan. Ternyata Petrus adalah pribadi yang cerdas. Ia dapat menguasai 3 bahasa dan berkesempatan tampil berbicara di depan umum termasuk para bangsawan. Tahun 1559 tercatat seorang wanita bernama Catherine menjadi wanita yang menerima cinta dari Petrus. Mereka berdua menikah dan memiliki dua putra yang dinamakan Paolo dan Ercole. Mereka berdua lahir dalam keadaan normal. Namun saat dua putra berikutnya yaitu Enrico dan Orazio lahir, mereka mengikuti jejak sang ayah mengidap sindrom Ambras.
Kisah Petrus dan Catherine tersebut akhirnya menginspirasi seorang penulis dari Perancis, Gabrielle-Suzanne de Villeneuve untuk membuat sebuah buku berjudul La Belle et la Bete pada tahun 1740. Kemudian cerita tersebut diadaptasi oleh Disney menjadi sebuah film animasi dan menerjemahkan judulnya ke bahasa Inggris yang kita kenal sampai sekarang, Beauty and the Beast.
Sekedar tambahan informasi hingga saat ini tercatat ada 50 kasus sindrom Ambras yang terjadi sejak abad pertengahan. Salah satunya sindrom ini dialami oleh sebuah keluarga dari Meksiko. Jesus Aceves adalah keturunan kelima pengidap sindrom Ambras bersama dengan adik-adiknya. Bahkan karena kondisinya tersebut, ia dan dua adiknya pernah bekerja di sebuah sirkus keliling dan berperan sebagai bocah serigala.
Jesus Aceves saat ini sudah menikah dan memiliki keturunan. Gen hipertrikosis tersebut ternyata juga menurun kepada anak-anaknya. Saat ini Aceves bekerja serabutan sebagai pemetik buah dan pembuang sampah di lingkungannya. Ia susah mendapatkan pekerjaan yang layak karena penampilannya dan tidak mengenyam pendidikan yang cukup karena sejak kecil ia sudah bekerja di sirkus. Keluarga Aceves hidup dalam keadaan rendah diri karena mereka sering diejek oleh masyarakat sekitar.
Untuk sedikit mengangkat kehidupan mereka seorang produser bernama Eva Aridjis membuat film dokumenter mengenai kehidupan keluarga Jesus Aceves. Eva berharap supaya film tersebut dapat sedikit mengangkat kehidupan mereka menjadi lebih layak dan sejahtera.