Pembuktian Retorika Menurut Pemikiran Aristoteles

Sindu
By -
0

PEMBUKTIAN RETORIKA

Pandangan Aristoteles tentang retorika tertuang dalam tiga buah buku. Buku pertama membahas tentang Pembicara, tentang apa yang harus dilakukan oleh Pembicara dalam retorika, terutama menyangkut kredibilitas Pembicara. 

Buku kedua membahas tentang Publik yang dipercayai Aristoteles sebagai unsur terpenting dalam retorika. Publiklah yang menentukan keberhasilan retorika. Buku ketiga menyangkut bagaimana hadir dalam retorika, apa yang terjadi dalam proses retorika tersebut.

Pembuktian Retorika Menurut Pemikiran Aristoteles

Buku-buku tersebut merupakan kumpulan dari materi-materi kuliah yang ia berikan di Akademi Plato. Karena tidak dimaksudnya untuk terbit sebagai buku, kumpulan catatan tersebut cenderung tidak runtut dan tidak tersusun dengan baik. Namun sampai sekarang ketiga buku tersebut tepat dipelajari para ahli public speaking dan dianggap sebagai referensi public speaking yang paling berpengaruh sepanjang jaman.

Ada dua asumsi dasar dalam teori Retorika yang diajukan Aristoteles. Pertama, Pembicara yang efektif harus mempertimbangkan publik mereka. Pembicara harus berorientasi pada Publik, bahwa Publik adalah individu yang memiliki motivasi, keputusan, pilihan tersendiri, bukan sebagai entitas homogen. Jadi Pembicara perlu menyesuaikan cara penyampaian sesuai kondisi publik mereka supaya publik merespons sesuai harapan pembicara. Bagi Aristoteles, publik adalah elemen retorika yang paling menentukan kesuksesan retorika, bukan elemen pembicara dan isi pembicaraan.

Baca juga: Konsep Dasar Komunikasi Antarbudaya: Pengertian, Jenis dan Contohnya

Kedua, Pembicara yang efektif memanfaatkan beragam cara pembuktian dalam presentasi mereka. Aristoteles percaya bahwa retorika harus berisi bukti-bukti agar dapat diterima oleh publik. 

Terdapat tiga pembuktian yang dapat dipakai dalam retorika:

1. Logos atau logika. Pembuktian logika berisi argumen-argumen yang masuk akal, yang didapat dari penyimpulan fakta-fakta yang ada. Misalnya saja logika berikut ini:

a. Pernyataan pertama: bermain adalah hak asasi setiap anak (umum- tentang semua anak)

b. Pernyataan kedua: Adi adalah anak berusia 7 tahun (khusus-hanya tentang Adi)

c. Kesimpulan: Adi memiliki hak asasi untuk bermain.

Logika tersebut dapat dipakai dalam kampanye menghapus pekerja/buruh anak (child labour) dengan mengemukakan argumen bahwa seorang anak, walau dari keluarga tidak mampu, memiliki hak asasi untuk bermain, jadi Negara harus memastikan bahwa hak asasi tersebut terpenuhi.

Logika argumen dapat bersifat deduktif (dari umem ke khusus) seperti contoh premis di atas, dapat juga bersifat induktif. Argumen bersifat induktif misalnya dengan memberikan contoh-contoh spesifik dahulu lalu menarik kesimpulan yang lebih umum berdasarkan contoh spesifik tersebut. Contoh lain dari logika adalah sebagai berikut: Pernyataan pertama: Ada petugas hukum yang menyelewengkan hukum. Pernyataan kedua: Bapak A adalah petugas hukum.

Kesimpulan: Bapak A mungkin menyelewengkan hukum.

Jadi penarikan kesimpulan harus berdasarkan fakta, namun mengandung ketidakpastian tertentu. Retorika dapat dipakai mempengaruhi orang lain berpikir bahwa Bapak A mungkin menyelewengkan hukum, atau dapat juga mempengaruhi pikiran bahwa Bapak A mungkin tidak menyelewengkan hukum.

2. Ethos atau Etika

Retorika tidak cukup bila hanya berisi argumen- argumen logika. Pembicara juga harus terlihat memiliki kredibilitas. Kesan pertama publik terhadap pembicara tidak dimulai saat ia berbicara pertama kali, melainkan sebelumnya. 

Pembicara yang terlihat meyakinkan, memiliki kredibilitas, membuat efek argumen retorika semakin kuat. Aristoteles mengidentifikasi tiga sumber kredibilitas pembicara:

a. Kecerdasan. 

Pembicara yang terdengar cerdas atau tampak cerdas akan lebih memikat publik dibandingkan yang tidak. Publik akan menilai pembicara cerdas bila argumen pembicara sejalan dengan nilai atau pendapat mereka, membuat mereka berpikir "pembicara ini menyampaikan ide-ide saya" atau "ia benar, saya sependapat dengannya".

b. Karakter simpatik. 

Pembicara yang dipersepsikan sebagai orang yang baik dan jujur akan lebih dipercaya oleh publik. Tokoh seperti Nelson Mandela mampu menggerakkan masyarakat Afrika Selatan menuntut penghapusan politik apartheid yang membedakan hak orang kulit hitam dan kulit putih di Afrika Selatan. 

Nelson Mandela adalah korban dari politik apartheid tersebut, ia dipenjara selama 27 tahun karena ide persamaan haknya. Namun setelah ia keluar dari penjara, ia tidak mengajak rakyat kulit hitam Afrika Selatan membalas dendam kepada masyarakat kulit putih. Sebaliknya, ia justru mengajak agar kedua kelompok masyarakat berdamai untuk mencapai Negara Afrika Selatan yang sejahtera untuk semua masyarakat. Hal inilah yang menyebabkan Mandela menjadi tokoh yang sangat karismatik, yang sangat dipercaya oleh masyarakat Afrika Selatan.

e. Niat baik. 

Publik harus percaya bahwa retorika yang disampaikan oleh pembicara didasari niat baik, tanpa keinginan mengambil keuntungan dari publik. Selain dianggap memiliki karakter simpatik, Nelson Mandela juga dipercaya publik memiliki niat baik. 

Dalam setiap retorikanya, ia tidak mengobarkan kebencian kepada kelompok kulit putih (kelompok yang diistimewakan dalam sistem apartheid) melainkan mengajak setiap kelompok, tanpa memandang warna kulit, untuk bekerja bersama membangun Afrika Selatan. Sampai saat ini, walau konflik antara kelompok kulit putih dan kulit hitam di negara tersebut belum sama sekali hilang. Afrika Selatan dipandang sebagai negara tersukses di 

a. Kecerdasan. 

Pembicara yang terdengar cerdas atau tampak cerdas akan lebih memikat publik dibandingkan yang tidak. Publik akan menilai pembicara cerdas bila argumen pembicara sejalan dengan nilai atau pendapat mereka, membuat mereka berpikir "pembicara ini menyampaikan ide-ide saya" atau "ia benar, saya sependapat dengannya".

b. Karakter simpatik. 

Pembicara yang dipersepsikan sebagai orang yang baik dan jujur akan lebih dipercaya oleh publik. 

Tokoh seperti Nelson Mandela mampu menggerakkan masyarakat Afrika Selatan menuntut penghapusan politik apartheid yang membedakan hak orang kulit hitam dan kulit putih di Afrika Selatan. Nelson Mandela adalah korban dari politik apartheid tersebut, ia dipenjara selama 27 tahun karena ide persamaan haknya. Namun setelah ia keluar dari penjara, ia tidak mengajak rakyat kulit hitam Afrika Selatan membalas dendam kepada masyarakat kulit putih. 

Sebaliknya, ia justru mengajak agar kedua kelompok masyarakat berdamai untuk mencapai Negara Afrika Selatan yang sejahtera untuk semua masyarakat. Hal inilah yang menyebabkan Mandela menjadi tokoh yang sangat karismatik, yang sangat dipercaya oleh masyarakat Afrika Selatan.

e. Niat baik. 

Publik harus percaya bahwa retorika yang disampaikan oleh pembicara didasari niat baik, tanpa keinginan mengambil keuntungan dari publik. Selain dianggap memiliki karakter simpatik, Nelson Mandela juga dipercaya publik memiliki niat baik. 

Dalam setiap retorikanya, ia tidak mengobarkan kebencian kepada kelompok kulit putih (kelompok yang diistimewakan dalam sistem apartheid) melainkan mengajak setiap kelompok, tanpa memandang warna kulit, untuk bekerja bersama membangun Afrika Selatan. Sampai saat ini, walau konflik antara kelompok kulit putih dan kulit hitam di negara tersebut belum sama sekali hilang. Afrika Selatan dipandang sebagai negara tersukses di 

benua Afrika (bahkan terpilih menjadi tuan rumah Piala Dunia 2010).

Walaupun ide Aristoteles tentang kredibilitas telah disampaikan 25 abad lalu, penelitian di abad ini masih menemukan kebenaran dari ide tersebut. Penilaian publik terhadap kredibilitas pembicara akan dipengaruhi persepsi mereka apakah pembicara tersebut memiliki kecerdasan dan karakter yang dapat dipercaya.

3. Pathos atau emosi. 

Retorika akan memiliki daya menggerakkan publik bila mampu menggugah emosi publik. Aristoteles mengenali bahwa orang akan menilai atau bertindak dengan cara berbeda saat dalam kondisi emosi duka dibanding saat bahagia. Saat kita senang kita akan menilai orang yang sedang diadili di pengadilan sebagai orang yang kejahatannya ringan atau tidak bersalah sama sekali. Namun saat kita marah, penilaian kita akan berbeda.

Aristoteles mengidentifikasi beberapa emosi yang bisa dimanfaatkan dalam retorika, antara lain (Griffin, 2003: 309):

a. Kemarahan. 

Publik dapat dibangkitkan kemarahannya bisa diperlihatkan kejahatan yang mereka alami. Namun saat pelaku kejahatan terlihat merasa bersalah, publik akan menjadi tenang. b. Cinta atau persahabatan. Publik dapat dibangkitkan rasa cintanya, rasa ingin melindungi orang-orang yang mereka cintai supaya bergerak melakukan apa yang diinginkan oleh Pembicara.

e. Ketakutan. 

Rasa takut juga dikenali sebagai emosi yang mampu menggerakkan orang melakukan beragam hal secara yang berbeda dibanding bila ketakutan itu tidak ada. Misalnya dengan membayangkan adanya ancaman bencana atau tragedi dapat menimpa kita.

d. Rasa malu. 

Rasa ini dapat muncul bila suatu peristiwa terjadi karena kesalahan kita, terutama bila kesalahan tersebut diungkap di depan keluarga, teman, atau orang-orang yang kita kagumi.

e. Kejengkelan. 

Kita semua memiliki rasa keadilan. Saat kita melihat ada pihak yang lemah yang dirugikan atau diperlakukan tidak adil, rasa jengkel akan mudah muncul. Rasa jengkel ini dapat dibangkitkan supaya publik melakukan sesuatu.

f. Kekaguman. 

Kita biasanya mengagumi nilai moral yang baik, kekuasaan, kekayaan, dan kecantikan. Misalnya saja, rasa kagum akan lebih mudah muncul saat kita mengetahui bahwa seseorang memperoleh harta kekayaannya berkat kerja keras bertahun-tahun. bukan dengan cara menang lotre.

Sampai saat ini emosi-emosi seperti yang diuraikan Aristoteles terbukti masih dapat menggerakkan publik saat proses public speaking. Misalnya saja pembicara ingin publik melakukan gerakan anti korupsi, maka si pembicara akan menggunakan contoh hukuman ringan diterima seorang koruptor miliaran rupiah dibandingkan hukuman berat yang diterima oleh seorang ibu tua yang dituduh mencuri beberapa butir buah kakao, Rasa cinta pada anak dan cucu dibangkitkan dalam kampanye hemat air bersih supaya kita memakai air dengan bijak saat ini karena air bersih sudah semakin berkurang di bumi, yang kalau dibiarkan terus akan membuat anak dan cucu kita kekurangan atau bahkan kehabisan air bersih.

Menurut Aristoteles cara-cara pembuktian di atas dapat dimanfaatkan dalam situasi yang berbeda. Ia membagi situasi tersebut menjadi tiga tipe: Pertama, forensik atau yudisial, menyangkut kepentingan untuk menentukan benar atau salahnya suatu hal yang terjadi pada masa lalu. Sesuai dengan namanya, situasi retorika ini banyak dijumpai dalam pengadilan. 

Tipe kedua adalah deliberative atau politik menyangkut kepentingan untuk menentukan apakah suatu hal harus dilakukan atau tidak perlu dilakukan demi masa depan. Situasi kedua lebih banyak kita temukan dalam pertemuan politik. Sedang tipe ketiga adalah epidetik atau seremoni menyangkut pujian atau kecaman mengenai hal yang terjadi sekarang. Situasi ketiga banyak ditemukan dalam upacara atau acara sosial.

Tag: Apa itu retorika menurut Aristoteles? Apa yang dimaksud dengan ethos pathos dan logos dalam retorika Aristoteles? Retorika teori siapa? Siapa guru retorika pertama yang menyarankan Keberan suatu pendapat hanya dapat dibuktikan dengan tercapai kemenangan dalam pembicaraan?

Demikian materi tentang Pembuktian Retorika Menurut Pemikiran Aristoteles. Baca juga: Materi BMP Public Speaking SKOM4312 Edisi 2 – Modul 1 Bagian 2

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)

#buttons=(Ok, Go it!) #days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Check Now
Ok, Go it!