-->

Praktek Apropriasi Dalam Seni Rupa Kontemporer di Indonesia

Bagaimana Praktek Apropriasi Dalam Seni Rupa Kontemporer di Indonesia?

Apa itu Apropriasi? Istilah apropriasi (approriation), atau kira-kira “ penyetaraan “, sering terdengar dalam berbagai perbincangan seni rupa , maupun budaya kontemporer. Terutama dalam diskusi yang menyangkut perkembangan budaya seni rupa pasca – modern (posmodern). 

Apropriasi selalu bersanding dengan jargon-jargon yang diuarkan kaum posmodernis, seperti allegory, parodi (pelesetan), eklektik atau bricolage. Aproprasi selalu mengandung gejala kemiripan atau keserupaan suatu imaji terhadap imaji lainnya.

Praktek Apropriasi Dalam Seni Rupa Kontemporer di Indonesia
Kajian apropriasi dalam seni rupa

Seni rupa dengan kecenderungan apropriasi ternyata sangat lazim dipraktekan di barat sejak awal abad ke – 20. Dalam situs Wikiepedia maupun sejarawan Robert S. Nelson, di sebutkan bahwa, mengapropriasi sesuatu yang melibatkan upaya “pengambil – alihan”. 

Dalam seni rupa barat , istilah apropriasi sering merujuk pada penggunaan elemen-elemen pinjaman dalam suatu kreasi karya seni. 

Peminjaman elemen tersebut termasuk citraan atau gambar, bentukan atau gaya dari sejarah seni atau budaya populer, maupun material serta teknik-teknik dari lingkup bukan seni. Sejak dekade 1980-an istilah ini juga mengacu kepada yang lebih khusus, mengutip karya dari seniman lain untuk menciptakan suatu karya baru. Karya baru tersebut bisa atau tidak merubah imaji karya semula . Seperti contohnya kekaryaan seniman Amerika Utara 1970-an; Sherry Levine, Barbara Kruger atau Cindy Sherman.

Masih dalam situs tersebut, diuraikan aspek-aspek apropriasi muncul dominan di wilayah sejarah seni modern abad 20, jika kita mempertimbangkan dasar pembuatan karya seni sebagai peminjaman citraan atau konsep dari dunia sekeliling , dan penafsirannya kembali ke dalam karya seni. 

Beberapa ahli bahkan mengklasifikasikan seniman seperti Leonardo Da Vinci sebagai seorang seniman apropriasi, karena ia menggunakan metode yang rumit, meminjam beragam sumber seperti biologi, matematik, teknik mesin dan seni, dan kemudian mensintesanya ke dalam penemuan-penemuan dan penciptaan karya-karya seni.

Baca juga: Pengertian Apropriasi Budaya Menurut Para Ahli

Oleh karena itu, dalam era- pasca modern ini, seputar isu seni seperti otentisitas, orisinalitas, keluhungan, kemandirian, kejeniusan, kemuliaan gagasan, bukanlah hal yang harus lagi jadi parameter atau menjadi keutamaan nilainya. 

Tetapi seni rupa menjadi praktek yang terkait dengan kekuasaan simbolik, serta modal, dan juga dipengaruhi oleh sistim yang menunjangnya. Maka risalah mendiang Walter Benjamin (1892 – 1940), menjadi begitu penting, dan sangat mempengaruhi pemikiran praktek seni dan kajian budaya kontemporer. 

Dalam esainya “ Seni Dalam Era Reproduksi Mekanik”, tahun 1936, ia mengemukakan, bahwa kemampuan teknologi reproduksi citraan secara masinal membawa dampak besar, bukan hanya terhadap tradisi metoda penciptaan karya seni, dan nilai-nilai hakiki dalam watak tradisi seni (elemen auratiknya), tetapi juga secara signifikan telah menggeser cara pandang kita terhadap apa yang kita lihat, dan kita pahami.

Konon, pemikiran Benjamin juga dilatari oleh berbagai peristiwa penting dalam bidang seni lukis di Eropa waktu itu. Selain tentunya fenomena fotografi dan juga film, sebagai agen penting dalam mengonstruksi cara melihat modern. Dalam catatan sejarah seni rupa Barat dikejutkan oleh kelakuan Marchel Duchamp, yang memamerkan tempat kencing (1917), roda sepeda, dan potret Monalisa berkumis ( 1919). Pablo Picasso (1912) dan Georges Braque (1913) , sebelumnya menciptakan lukisan kubistik dengan menyertakan kepingan atau bagian benda – benda keseharian di permukaan lukisannya. 

Alih – alih, bahwa terjadi pergeseran metoda melukis sehubungan dengan cara memandang masyarakat modern. Seolah telah terjadi peleburan antara nilai – nilai luhung dalam sejarah seni, dengan nilai yang hadir dalam keseharian. Disinilah seni apropriasi muncul sebagai suatu bentuk politik representasi, dan gejala ini erat kaitannya secara konstruktif dengan kemunculan mesin cetak di Eropa, kemudian fotografi di tengah abad 19. Juga dengan penyebarannya secara masal, menciptakan – apa yang disebutkan Andre Malroux (sastrawan Perancis)- “museum tanpa dinding”.


Apropriasi dalam Seni Fotografi

Munculnya fotografi, merupakan pengaruh yang sangat penting dalam perkembangan teknologi imej dan menjadi simptom era modern. 

Dalam Fotografi - menurut Susan Sontag - dalam On Photography (1977) - sebagai suatu medium dan agen pengetahuan manusia modern, sebagai miniatur dunia, mempunyai peran cukup penting dalam memberikan akses yang luas bagi suatu masyarakat pada dunia eksternal yang mengelilinginya. 

Kepingan – kepingan informasi (maupunkenangan masa lampau), yang terkandung dalam tiap helai foto telah merubah banyak hal dalam kehidupan masyarakat modern. Menjadi cermin manusia moderen dalam menentukan sikap dan tujuan hidupnya.

Fotografi, yang kemudian diiringi kapitalisme cetak yang semakin maju, serta peraturan – peraturan penayangan maupun penerbitan yang longgar, selain juga perkembangan informasi elektronik maupun cyber seperti film, televisi dan internet, menjadikan dunia saat ini tanpa batas dan menjadikan problematika yang menarik dalam kehidupan budaya. 

Spektrum Praktek Apropriasi DSpektrum Praktek Apropriasi Dalam Seni Rupa Kontemporer di Indonesiaalam Seni Rupa Kontemporer di Indonesia

Derasnya aliran informasi yang tidak berimbang saat ini, tentunya mengiritasi tata – nilai yang telah mapan dalam kehidupan budaya suatu masyarakat. Sehingga perubahan-perubahan nilai dalam tatanan kehidupan, mempengaruhi juga bagaimana posisi kita dalam memandang dunia. 

Dalam hal ini Sontag mengemukakan, bahwa memotret adalah menyetarakan atau mengapropriasi (to appropriate) realita yang dipotret. Menempatkan seseorang ke dalam suatu relasi dunia yang dirasakan seperti pengetahuan – dan maka itu menjadi seperti suatu kekuatan.

Alih-alih bahwa proses pemaknaan fotografi melibatkan eksistensi individu dalam suatu lingkup budaya, ditengah-tengah derap maju budaya masyarakat disekitarnya. Apropriasi adalah manifestasi politik terhadap kekuatan, dan dominasi kultural. 

Seperti dikatakan oleh Robert S. Nelson, praktek apropriasi secara semiotik, seperti juga mitos, yang merupakan distorsi; bukan lawan atau negasi dari pada “ rakitan semiotik yang utama” (The prior semiotic assemblage). Bisa bermutasi; berubah tanda – tandanya (signs). Apropriasi seperti lelucon, kontekstual dan historikal, ia tak pernah stabil, berubah oleh lingkup dan sejarah baru, menjadi tanda-tanda baru.

Baca juga: Pengertian dan Definisi Logika

Apropriasi dengan kata lain adalah strategi menjinakan mitos - mitos. Diungkapkan juga oleh Barthes (Myth Today: 1957), mitos adalah suatu sistem komunikasi , suatu narasi (speech). Dibangun dengan meta-bahasa, dengan bahasa –rampokan atau curian, yang berfungsi untuk menaturalisasi sesuatu nilai yang terbentuk. Mendistorsi suatu proses pemaknaan. Semua berpotensi menjadi mitos.

Senjata terbaik melawan suatu mitos adalah menciptakan mitos artifisial (artificial myth); “ sejak mitos merampok bahasa dari sesuatu. Mengapa tidak merampok mitos?”.

Bagi Barthes, mitos bukan hanya bentukan dari cerita – cerita masa lampau, dongeng, dan lainnya, tetapi juga dalam wujudnya yang lebih kekinian; dunia popular, seperti sampul majalah, poster iklan, papan reklame, film dan lain sebagainya. Mitos ibarat hantu bertopeng, yang terus membuntuti sejarah manusia modern. Sedangkan apropriasi menjadi semacam tamengnya untuk melumpuhkan, menetralisir, dan kemudian mencangkokan makna – makna berbeda padanya. Tidak untuk mengusir keseluruhannya.

Tag: kajian apropriasi dalam seni lukis kontemporer, aprorpiasi seni pdf download, jurnal tesis apropriasi

Apropriasi dalam Seni Rupa: Dari Peniruan Hingga Apropriasi

“ Mereka adalah peniru, dan meskipun seorang jenius di cabang seni ini mungkin tidak akan muncul dari kalangan mereka, namun ada alasan kuat untuk meyakini bahwa jika diberi dorongan,mereka tidak akan ketinggalan dibanding bangsa lain yang sama tingkat peradabannya. “ ( Sir Stamford Raffles, The History of Java)

Dalam lingkup di Indonesia, kemunculan praktek seni modern menjadi problematik namun menarik. Pertama bahwa bentuk seni lukis tersebut diperkenalkan oleh Barat lewat proses kolonialisasi. Terutama berlangsung di abad 19, dimana pribumi seperti Raden Saleh Sjarif Bustaman (1807 – 1880) mendapat ajaran melukis dari guru-guru Belanda, lalu mengalami alam Eropa dikemudian hari.

Disinilah muncul proses, dimana karya-karyanya meniru (mimesis) lukisan-lukisan gaya klasik sampai romantisisme Eropa, hingga kemudian terjadi ‘perlawanan’ dalam perkembangannya kemudian, terutama dalam lukisan “ Penangkapan Diponegoro” (1857). 

Karya ini ia buat setelah melihat buah karya orang Belanda Nikoolas Pieneman (1809-1860) , yang merekam penaklukan pemimpin perang Jawa, Pangeran Diponegoro tahun 1830, oleh tentara VOC. Lukisan ini merupakan bentuk ‘revisi’ dari karya sebelumnya. 

Beberapa pengamat dan sejarawan kemudian berasumsi bahwa ada bentuk perlawanan politis dalam diri Saleh. Ketika ia, pada saat itu masih berada di Eropa, mendengar dan melihat kenyataan politik di Hindia – Belanda terhadap bangsa pribumi.

Apropriasi dalam Seni Rupa: Dari Peniruan Hingga Apropriasi
Apropriasi dalam Seni Rupa: Dari Peniruan Hingga Apropriasi

Karya Raden Saleh tersebut menjadi model seni apropriasi terhadap karya seni lukis barat awal yang sangat jelas, bahwa peniruan juga kemudian menciptakan dimensi politis, membuktikan adanya upaya dari individu (bangsa terjajah) untuk mengartikulasikan kembali nilai yang ada  (given).

Mencerminkan adanya suatu watak keambivalenan dalam wacana kolonial. Apropriasi dalam pemikiran seorang ahli pasca –kolonial ternama, Homi K. Bhabha, merupakan bentuk representasi mimikri (mimicry), sebagai suatu strategi yang efektif, dan licin (elusive) terhadap pengetahuan dan kekuatan kolonial. 

Mimikri menjadi suatu representasi dari sebuah keberbedaan, yang didalamnya terjadi proses penolakan (disavowal). Maka mimikri adalah suatu artikulasi ganda, sebuah strategi rumit terhadap perubahan, peraturan dan disiplin, dengan ‘menyetarakan’ (appopriates) sang lain (the Other) sebagai bentuk kekuatan visual.

Kedua, adalah bagaimana seni rupa kemudian berinteraksi dari wacana kolonial, dengan munculnya ideologi nasionalisme. 

Hal ini disebabkan faktor perubahan kebijakan politik kolonial di Hindia – Belanda abad 20, yang mengijinkan kelompok elit pribumi tertentu untuk menikmati pendidikan cara Belanda. Kadang diiringi juga dengan peziarahan ke ranah barat. Dalam proses pendidikan di lembaga formal, mereka membaca buku-buku yang disediakan dalam ruang-ruang perpustakaan.

Pengetahuan membuka lebar cakrawala kaum pribumi, digambarkan oleh Pramoedya Ananta Toer , lewat sosok fiktif yang ambivalen, Minke, dalam roman masyhur karangannya, Bumi Manusia : “ Salah satu hasil ilmu-pengetahuan yang tak habis-habisnya kukagumi adalah percetakan, terutama zincografi. 

Coba, orang sudah dapat memperbanyak potret berpuluh ribu lembar dalam sehari. Gambar pemandangan, orang besar dan penting, mesin baru, gedunggedung pencakar langit Amerika, semua dan dari seluruh dunia – kini dapat aku saksikan sendiri dari lembaran-lembaran kertas cetak “

Penafsiran dan artikulasi pengetahuan kolonial menciptakan bayangan sebagian pribumi untuk menjadi sebuah bangsa yang mandiri, lepas dari kolonialisme. Tentunya didukung oleh kondisi sosial-ekonomi dan kebijakan Hindia-Belanda pada saat itu, yang tengah merekah menjadi permata di khatulistiwa. 


Pameran dan Museum Seni Rupa Kontemporer, Apropriasi

Kapitalisme cetak yang pesat juga membentuk “museum – museum tanpa dinding” dimana para pemuda terdidik dengan khidmat memperhatikan citra – citra dari barat dan mengagumi seni rupa modernnya. Informasi tercetak inilah salah satu faktor utama penularan estetika barat ke dalam kehidupan intelektual masyarakat pribumi terdidik.

Perbincangan seputar identitas ke - Indonesia-an dalam wacana kesenian, khususnya dalam bidang seni rupa bergulir mulai tahun 1930-an hingga awal 1970-an. Terutama ketika kemunculan PERSAGI (Persatuan Ahli Gambar Indonesia), sebagai lembaga yang menaungi para seniman yang mendukung gerakan nasionalisme. 

Dengan menunjuk S. Soedjojono sebagai juru bicara, mengeluarkan manifesto tentang kepentingan mencari jati diri dalam seni lukis. Karya – karya generasi ini banyak mengetengahkan realita perjuangan untuk upaya membebaskan diri dari penjajahan. Dengan mengapropriasi corak – corak modern Eropa seperti ekspresionisme macam Vincent Van Gogh, atau corak lukisan Goya atau Monet.”

Tetapi memang Soedjojono, dan golongannya, mampu menyisipkan nilai – nilai unik yang khas dalam karya-karya mereka. Perwujudan nilai lokal, “jiwa khetok”, yang mengandung semangat nasionalisme. Sehingga klaim sebagai seni lukis modern juga merupakan perwujudan manifestasi politik identitas, sekaligus bentuk apropriasi politik terhadap seni modern barat. 

Maka ketika kemudian di dekade 1950-an, anak-anak muda, murid seorang guru gambar Belanda, Reis Mulder dari Bandung, mengadakan pameran yang menyajikan karya akademis, bercorak abstraksi, kubistik, dan lainnya. Membawa reaksi keras dari para tokoh PERSAGI dan pendukungnya.

Trisno Sumardjo, kritikus ternama kala itu, khawatir bahwa akademi dengan metode yang diajarkan orang Belanda di Indonesia, bisa menghilangkan dimensi jati-diri suatu bangsa. Dengan kanonnya, yang menganggap sekolah seni di Bandung sebagai pengabdi dan laboratorium Eropa.

Walaupun pendapat itu di tampik keras oleh Sudjoko, dengan menggaris - bawahi bahwa, di Bandung telah dikembangkan suatu metode pengajaran seni lukis yang lebih menekankan percobaan, analisa dan diskusi. Melalui estetik yang meminjam dari corak lukisan modern Barat. Perdebatan ini pula yang memulai adanya wacana pendidikan tinggi seni rupa di Indonesia, selain juga melanjutkan sengkarut perdebatan identitas seni lukis Indonesia.

Ketiga, bentuk seni apropriasi di masa ketika budaya populer memasuki kehidupan dengan iklan – iklan menciptakan delusi masyarakat secara massal ditengah suatu kekuasaan militer . 

Beberapa seniman muda menggelar pameran yang dinamai Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia (GSRB), tahun 1975. 

Pameran ini menyuguhkan karya – karya dengan perilaku yang dianggap diluar kebiasaaan pada saat itu. Jim Supangkat misalnya menyuguhkan karya replika patung torso Ken Dedes, di atas sebuah kotak kayu bergambar tubuh bagian bawah perempuan, bercelana jeans yang resletingnya sedikit terbuka. Lainnya, seperti F.X. Harsono, Nyoman Nuarta, Bonyong Muni Ardhi juga menghadirkan obyek – obyek maupun lukisan yang ‘akrab’, dan dikenali dari dunia keseharian. 

Baca juga: Review Buku Visual Culture and Indigenous Agency in the Early Americas Karya Alessia Frassani

Kritikus dan kurator Hendro Wiyanto mengungkapan, bahwa “ Perkembangan seni rupa moderen kita pada umumnya memang diawali dan ditandai oleh kepeloporan praktik seni lukis oleh para pelukis. 

Namun semenjak tahun tujuh puluhan peran seni lukis semacam itu telah digugat. Medium spesifik atau ‘medium mistik’ seni lukis beramai-ramai ditanggalkan oleh para perupa. 

Keluar dari kekhasan medium, para perupa mati-matian menampilkan bentuk campuran yang tidak lagi murni berasal dari tradisi fine art. 

Para perupa GSRB, secara gagasan dan garapan artistiknya banyak meminjam unsur non-seni, elemen-elemen dan obyek, yang diambil dari sekitarnya. Selintas karya mereka seperti citra karya –karya dalam gerakan seni pop di Amerika Serikat, antara tahun 50 hingga 60-an. Meminjam citraan serta simbol-simbol populer non –seni, menggunakan medium maupun material “rendahan”seperti cetak saring, resin, ataupun benda temuan. 

Secara lingkup budaya masyarakat, kelahiran estetik dalam kekaryaan anggota GSRB mulai mencerminkan adanya pengaruh kuat pokok soal politik dalam seni. 

Manifesto GSRB mencoba meruntuhkan dikotomi atau batas antara estetik rendah/tinggi, profan/sakral, seni /non seni. Ke-empat merupakan tahap dimana ranah teknologi informasi dan reproduksi semakin canggih, menciptakan cakrawala global yang melampaui batas-batas geografis, geopolitik dan budaya. Fase ini dianggap beberapa pengamat sosial - budaya sangat krusial, karena terjadi lompatan, serta percepatan informasi yang luar biasa dalam kehidupan manusia sekarang, yang masih tak seimbang. Beragam citraan memasuki ruang-ruang pribadi melalui media televisi, internet maupun telepon selular. 

Cakrawala tanpa batas ini diistilahkan sosiolog Arjun Appadurai sebagai technoscape dan mediascape, karena derasnya sirkulasi informasi dan teknologi media akhirnya mampu membentuk kenyataan lain dan berpotensi menyingkirkan / menutupi kenyataan sebelumnya 12 . Seni rupa memasuki era dimana terjadi serba ketakpastian asal-usul, seperti memasuki lorong Platonik. 

Imaji dalam pencanggihannya saat ini punya kapasitas untuk berinteraksi dengan makna-makna lain secara bebas. Tanda-tanda budaya bercampur-aduk, hibrid, bermutasi menjadi tanda yang berdiri sendiri, tanpa struktur yang pasti dan terbaca jernih. 

Ada banyak pameran seni rupa, yang menghadirkan beragam karya-karya dengan pendekatan apropriasi yang pernah diselenggarakan di tanah air sejak pertengahan dekade 90-an. Katakanlah karya-karya Agus Suwage, Tisna Sanjaya, Yasumasa Morimura (perupa Jepang), Asmudjo J.Irianto ( dalam pameran Kleptosign) hingga para perupa generasi sekarang. 

Dalam beberapa tingkatan, kekaryaan dengan strategi apropriasi bisa mengecoh pengamatnya, terutama dalam lingkup masyarakat di Indonesia yang masih tuna acuan sejarah seni rupa.

Tag:  Praktek Apropriasi Dalam Seni Rupa Kontemporer di Indonesia, contoh apropriasi dalam seni rupa, apropriasi budaya pada seniman kontemporer, apropriasi adalah, apropriasi seni musik, apropriasi teori dan tokohnya

Demikian sedikit pembahasan tentang apropriasi budaya dalam bidang seni rupa kontemporer. Baca juga: Spektrum Apropriasi Sekarang : Dari Ikonik hingga Kitsch


0 Response to " Praktek Apropriasi Dalam Seni Rupa Kontemporer di Indonesia"

Posting Komentar