-->

Spektrum Apropriasi Seni Rupa Sekarang : Dari Ikonik hingga Kitsch

Apa yang dimaksud dengan Spektrum Apropriasi Seni Rupa?

Dalam seni rupa kontemporer , di wilayah Asia, dalam dekade terakhir begitu menguat terutama tercermin dalam penjelajahan visual para perupa muda, terutama di tahun 1990-an hingga kini. Di Indonesia khusunya, perayaan memasuki budaya visual banyak di sambut oleh kalangan muda.

Mereka begitu khidmat menyelusup ke dalam dunia imaji virtual maupun dalam keseharian. Mulai dari imaji yang ikonik maupun yang biasa. Dari yang kanonik maupun yang tersembunyi. Imaji yang luhung seperti dalam sejarah seni rupa maupun populer, serta rendahan atau kitsch. 

Pameran “ Dalam Apropriasi” berkesempatan untuk meninjau lebih lanjut praktek seni rupa saat ini, terutama dari para perupa yang sejak awal tertarik dengan persoalan dunia imaji “sang lain” sebagai konstruksi atau landasan keberangkatan gagasan, alih-alih inspirasi, untuk menciptakan karya-karyanya, maupun perkembangan kreatifitas artistiknya.

Seperti Agus Suwage,yang sejak pertengahan 1995-an mulai menggarap karya-karya berwatak apropriasi dengan meminjam corak artistik karya perupa Jerman, Anselm Kiefer, Francis Bacon dari Inggris, dan lainnya. 

Spektrum Apropriasi Seni Rupa Sekarang : Dari Ikonik hingga Kitsch
Apropriasi dalam Seni Rupa Kontemporer

Tetapi kemudian beringsut mencari coraknya sendiri , dengan menampilkan tubuh maupun wajahnya beragam pose dan mimik secara realis, sebagai bentuk “peragaan” untuk membincangkan berbagai persoalan sosial-budaya masyarakat dengan sinis, ironis serta bernuansa parodi. 

Tetapi secara keseluruhan, penjelajahan artistik Suwage berangkat dari citra fotografis yang diolah lebih lanjut, baik lewat kepekaan, dan keahlian tangannya dalam menggambar maupun dicampur dengan bantuan rekayasa dijital, sehingga menghadirkan imaji ; baik dalam lukisan, drawing maupun obyek dengan corak realisme, serta maknanya yang berlapis-lapis.

Karya Suwage, menggambarkan bagaimana konstruksi citra seni rupa avant-garde Barat lewat “museum tanpa dinding”, telah memancar hasrat dalam kehidupan budaya seni rupa modern dunia. Tubuhnya memasuki dunia imaji, seolah mengganggu kemapanan nilai citraan itu. 

Kadangkala ia membiarkan citra itu tetap diberi kesempatan menunjukan apa adanya seperti citra awal , tetapi “ jati dirinya “ kemudian telah terebut oleh “sang lain” , Suwage sendiri. Model apropriasi dalam motif kekaryaan Suwage adalah meminjam citraan ikonik, sebagai acuannya, untuk kepentingan metafor nilai-nilai yang berkecamuk, antara cinta dan benci, kagum sekaligus mengejek, memparodikan dan seterusnya.

Baca juga: Pengertian Apropriasi Budaya dan Fungsinya

Perupa muda, Ariadithya Pramuhendra menggunakan potret dirinya kedalam potret ikonik para tokoh dunia melalui rekayasa teknologi pencitraan komputer, sehingga menghasilkan citra kabur (blur), yang berkesan bergerak dan tak fokus. Kemudian hasil olahan tersebut ia pindahkan ke dalam kanvas lewat goresan arang (charcoal). 

Kepekaan dan keahlian tangan dalam menggambar niscaya masih begitu dominan sehingga menciptakan citra fotografis hitam – putih yang bernuansa klasik sekaligus enigmatik. Mengembalikan keauratikan imaji –imaji tersebut. 

Pramuhendra seolah menguji kembali tradisi menggambar tradisional, namun dengan mengapropriasi citra teknologis, watak kekiniannya muncul dalam artistik blur, selain ditujukan untuk mewacanakan identitas dirinya dalam lingkup pokok soal pencitraan massal.

Keberangkatan yang hampir sama juga terjadi pada kekaryaan Aminudin T.H. Siregar. Ia menghadirkan lukisan cat air yang berangkat dari citra fotografi , maupun karya fotografi, yang ia ciptakan dengan merekonstruksi karya – karya perupa yang telah mapan, seperti foto performance art A Wei Wei ( perupa kontemporer dari China), Gilbert dan George (performance art dengan patung hidup dari Inggris). 

Watak kekaryaannya memang untuk mengganggu kemapanan ikon - ikon sejarah seni rupa dan mengalihkannya pada persoalan wacana, serta sengkarut pemahaman sejarah seni rupa di tanah air saat kini.

Yogie Achmad Ginanjar merekonstruksi secara hibrida; mencampurkan imaji karya para maestro seni lukis dalam sejarah seni dari Barat dengan realita kekinian. Ia mendistorsi potret – potret figur dalam lukisan klasik jaman Renaisan, lukisan potret abad 18, kadang mencampurkanya dengan imaji karya seni yang sedang populer, seperti citra dalam lukisan Yue Mingjun dan lainnya. 

Terakhir ia merekonstruksi bagian citraan karya maestro seni rupa modern Piet Mondriaan sebagai latar belakang sosok manusia lokal (Indonesia) didepannya. Sama seperti Aminudin, Yogie menggugat sejarah seni rupa barat dengan cara yang penuh ambigu. Mendua antara menolak dan menerima.

Gede Mahendra Yasa, lebih tertarik menjelajahi rinci permukaan visual citraan karya-karya ikonik seni rupa Barat. 

Mengapropriasi seni dengan meminjam gaya artistik dan menafsirkan kembali karya –karya maestro seni rupa kontemporer dunia seperti Gerhard Richter, Cy Twombly, ke dalam imaji yang lebih ilusif dan diperbesar. Beberapa karyanya bahkan merekonstruksi bagian tertentu rupa dari teksur, warna maupun goresan kuas. Mahendra menyajikan kutipan imaji karya tersebut untuk mengartikulasikan kembali tentang potensi fragmentasi dalam cara pandang fotografis, yang berhubungan dengan soal penciptaan karya seni. 

Kajian Apropriasi dalam Seni Rupa Kontemporer
Kajian Apropriasi dalam Seni Rupa Kontemporer

Maka dalam beberapa tingkatan karya acuannya telah dilenyapkan. Butuh pengetahuan sejarah seni rupa yang mendalam, untuk memahami secara lanjut karya Mahendra. Namun lepas dari itu, kekaryaannya memperlihatkan ketajaman pengamatan, bukan hanya melihat dan meniru citra acuan, tetapi juga menafsirkan kembali serta memaknainya lebih lanjut. Menjadi karya yang sepenuhnya mandir

Galam Zulkifli menghadirkan serial lukisan bernuansa parodi, “ Model Rambut dari Masa ke Masa”, potret ikon dunia seperti Soekarno atau Marilyn Monroe. Hanya saja rambut masingmasing telah berubah. Ia secara subversif mengganti satu bagian utama identitas citraan itu, yang telah menjadi memori kolektif, kharisma ataupun stereotype -nya; rambut atau tanda dibagian kepala. Mengubah rambut-rambut mereka dengan gaya dari masa yang berbeda, bisa mengecoh pengamat. Galam menciptakan citra keberbedaan tersebut melalui imaji terbalik , layaknya negatif film juga dengan logika dijital.

Baca juga: Strategi Mengatasi Golput dalam Pemilu

Sedangkan Dipo Andy menghadirkan kembali sosok populer seperti bintang pop Madonna dan Ibu Theresa. Sosok-sosok tersebut muncul dengan penambahan grafis yang tertata apik serta dinamis, membuat citraannya lebih atraktif. Unsur dan elemen grafis diapropriasi melalui rekayasa perangkat lunak komputer. 

Dipo seolah mengapropriasi ulang citra teknologis ke atas lukisan. Melihat lewat media komputer memaksa mengulang kita pada pertanyaan arti dari kejeniusan dan seterusnya. Tetapi kekaryaan Dipo mungkin malah membawa kita pada renungan, bahwa bagaimanapun teknologi memang diciptakan manusia untuk kehidupan manusia sesudahnya.

Dadan Setiawan menyetarakan elemen utama teknologi pencitraan ke dalam karya-karya lukisannya. Piksel sebagai konstruksi imaji dijital, yang sengaja ia rekonstruksi dari kamera telepon selular maupun distorsi serta efek pembesarannya, untuk membentuk citra potret manusia, maupun benda atau alam. 

Ketertarikan pada piksel sebagai dasar pencitraan era informasi saat ini banyak dilakukan oleh para pelukis besar dunia seperti Chuck Close hingga para perupa muda sekarang. Potensi untuk memanipulasi citra menjadi gejala visual lumrah saat ini. Karya-karya Dadan memberikan nilai estetika dan artistik pada rangkaian kesatuan piksel tersebut, bahkan menyelusup lebih dalam ke intinya, ke ranah spiritual imaji maya. Sehingga bentuk figur maupun alam benda yang tercitra diatas kanvasnya, merupakan hasil pengamatan terhadap ranah teknologi media (mediascape) , dibanding untuk meneguhkan subyeknya.

Radi Rawindra dan Wiyoga Muhardanto, mengapropriasi imaji dari dunia popular, industrial, serta non-seni sebagai keberangkatan untuk mengartikulasikan budaya kontemporer. Karya lukisan Radi Rawindra menampilkan citraan hibrida; imaji komikal, mainan robot anak-anak maupun dari tokoh-tokoh dalam pewayangan. 

Tetapi ia selalu menyisipkan persoalan keterdesakan budaya lokal oleh yang global. Dalam hal ini budaya nusantara. Dalam tiap citraan robot, Radi mengubah beberapa bagiannya, di isi dengan ragam hias, hingga citra potret dirinya ke dalam subyeknya. Terepresentasikan bagaimana persoalan identitas bangsa dalam dunia tanpa batas , serta budaya konsumtif. Strategi yang ia terapkan ; menyejajarkan atau merampakan berbagai elemen budaya dalam satu tubuh (bricolage) merupakan hasil perenungan generasi muda terhadap globalisasi

Wiyoga Muhardanto menampilkan deretan obyek-obyek ganjil, tulang-belulang manusia namun sekaligus terwujud bentuk fungsional keseharian yang akrab ; tas, gantungan baju, sepatu, headphone. Ia menyejajarkan dan mencangkokan (bricolage/assemblage) benda-benda keseharian yang bermerk (brand) dengan replika tengkorak manusia, yang biasa digunakan untuk pelajaran biologi di sekolah-sekolah. 

Baca juga: Sejarah Awal Mula Perkembangan Ilmu Logika

Melalui pengolahan teknis membentuk yang apik, serta pengenalan materi, ia bisa menghadirkan pengalaman menarik bagi pengamat. Kekaryaan Wiyoga sejak awal selalu menampilkan kemenduaan wujud dalam satu bentuk, memadukan nilai yang kontradiktif disekitar kita. Seperti pernah ia hadirkan dalam beberapa pamerannya terdahulu; senapan, pistol, pisau yang terbungkus dengan Louis Vutton, atau juga penghadiran utuh replika kursi terkenal “Barcelona Chair”, berbahan semen. Motif perbedaan (material maupun wujud) untuk mengganggu persepsi dan memori pengamat, menjadi suatu strategi artistik untuk membincangkan persoalan budaya konsumerisme.

Bambang “Toko” Witjaksono lewat apropriasi materi visual ‘ seni rendahan ‘ bernuansa kitsch ; stiker-stiker yang biasa di jual di pinggir jalan, dan biasa kita lihat dan temukan sebagai hiasan untuk kendaraan truk, angkutan umum, motor , dan berbagai hiasan di lingkungan yang dianggap marjinal, “kampungan”. 

Dengan tulisan-tulisan yang dianggap cengeng, norak, tetapi selalu menggelitik, karena merepresentasikan ungkapan kaum lemah dan tertindas oleh deru kemajuan jaman. Bambang Toko menghadirkan kembali citraan marjinal tersebut, secara parodi, kedalam bentukan seni luhung ( lukisan ), maupun benda-benda industrial lainnya. 

Lebih jauh ia menggubah tulisan-tulisan tersebut dari acuannya, menjadi bermakna setara dengan citraan maupun materialnya. Gejala penyetaraan makna (teks dan gambar) yang literer dan harfiah menandai semakin tipisnya pemahaman filosofis terhadap simbol serta tanda – tanda dalam kehidupan masyarakat. Bambang Toko memberikan gambaran umum tentang struktur citraan tersebut terhadap penafsirnya.

Baca juga: Fungsi Komunikasi Internal dan Eksternal dalam Komunikasi Bisnis

Astari Rasyid dan Hamad Khalaf mengapropriasi citra mitologi atau simbol dalam budaya suatu masyarakat untuk menguak persoalan sosial –politik, yang tengah berkecamuk saat ini. 

Astari Rasyid mengangkat tema seputar identitas perempuan lewat pencitraan simbolik potret dirinya dengan berpakaian perempuan klasik Jawa, bermetafora ke dalam citra perempuan kini. Menentang moral yang terbentuk dan menghegemoni, baik bersumber dari nilai keluhungan budaya (jawa) maupun dari rekayasa dunia industrial. 

Karyanya meminjam artistik kebaya Jawa, pakaian keseharian perempuan Jawa, namun dibuat dari logam, yang dihiasi dengan elemen dari dunia populer. Sebagai bagian pengalaman keseharian yang menyiratkan pergesekannya dengan dunia material, atau alih-alih konsumerisme yang melanda kaumnya sekarang. Peminjaman bentuk estetika Jawa yang digabung dengan elemen bercitra pop, merupakan strategi artistik untuk mewacanakan sisi keperempuanannya.

Hamad Khalaf, mengapropriasi citra mitologi Yunani kuno untuk mempersoalkan aksi perang, sebagai budaya sepanjang peradaban manusia . Ia meminjam pencitraan lukisan kuno yang biasanya terdapat di pecahan-pecahan gerabah jaman Yunani di dalam museum arkeologi. Citraan tersebut ia pindahkan keatas permukaan obyek-obyek temuan (found objects) seperti: masker gas, sepatu tentara, sarung tangan karet, helm tentara yang ditinggal oleh tentara Irak diwilayah gurun Kuwait, ketika perang Teluk berakhir di awal 1990-an. 

Hamad memunguti benda-benda tersebut, beberapa dibuat replikanya. Dibalik obyek – obyek yang berkamuflase dibalik rentetan benda ‘arkeologis’ tersebut, terdapat metafora tentang situasi politik global yang melanda dunia. Apropriasi yang dilakukan Hamad bersifat total, mulai dari penggunaan citraan mitologi (Yunani), narasi dibalik tokoh-tokoh simbolik, hingga materi benda-benda temuannya. Ia menggali nilai-nilai budaya lama, untuk kita renungkan dibalik lapisan-lapisan metafor yang kaya nilai artistik.


Strategi Apropriasi dalam Seni Rupa Kontemporer

Praktek seni rupa kontemporer menunjukan bahwa ranah teknologis, technoscape atau mediascape telah mengkonstruksi pandangan baru bagi para seniman untuk memahami dunianya, bukan hanya eksternal tetapi juga secara internal, mencoba menjelajahi, menggali, serta menemukan nilai-nilai berbeda. Memancarkan hasrat besar untuk menjelajahi dunia imaji bagi para seniman. 

Strategi Apropriasi dalam Seni Rupa Kontemporer

Walaupun itu harus meminggirkan dan menyisihkan apa yang disebut identitas dalam pengertian yang konservatif. Namun tidak serta-merta melenyapkan hasrat kepribadiannya, alih-alih terjadi juga upaya pencarian jati diri dalam era globalisasi yang menyertakan strategi budaya lokal (atau kita juga terbiasa mendengar jargon Glokal).

Strategi apropriasi menjadi fenomena utama praktek seni rupa kontemporer, bukan hanya di Amerika Utara tahun 60-an tetapi juga kemudian merambah diwilayah perkembangan di Asia termasuk di Indonesia. 

Didaratan China, perkembangan strategi artistik dengan apropriasi sudah umum dan radikal, sehingga menimbulkan kekaguman para pengamat dan pencinta seni di Barat. Di Indonesia dan mungkin di negara berkembang lain, gajala seni rupa apropriasi menuntut para seniman, dan pengamat untuk lebih sadar akan sejarah seni rupa modern Barat, dan sekaligus tajam terhadap pengamatan sosial-budaya lokal.

Praktek seni dengan strategi apropriasi yang dihadirkan dalam pameran ini, diharapkan mengarahkan kita pada cakrawala yang lebih lebar, dan penuh kesemrawutan nilai global – lokal dengan suasana yang bernuansa parodi, ironis dan penuh kejutan –kejutan kasat mata. Sehingga godaan untuk mengalihkan dari makna inti dibaliknya begitu besar.

Tag: Spektrum Apropriasi Seni Rupa Sekarang : Dari Ikonik hingga Kitsch, apa pengertian seni rupa apropriasi, fungsi apropriasi seni musik rupa dan tari, aproriasi budaya adalah jurnal pdf tesis, skripsi, pengertian

Demikian sedikit pembahasan apropriasi dan keterkaitannya dengan seni rupa kontemporer. Baca juga: Praktek dan Fungsi Apropriasi Budaya dalam Seni Rupa


0 Response to "Spektrum Apropriasi Seni Rupa Sekarang : Dari Ikonik hingga Kitsch"

Posting Komentar